Sehari yang lalu saya sempat terlibat dalam obrolan singkat dengan seorang wanita paruh baya. Sebuah pembicaraan singkat di salah satu sudut kota Madiun, di warung kopi pinggir jalan.
Entah angin apa yang membawa seorang wanita paruh baya penjual bak plastik itu tiba-tiba berbelok menghampiri saya yang sedang duduk menikmati secangkir kopi instant. Sekilas sebelumnya memang kami sempat bertatapan mata.
Beliau menawarkan dagangannya dengan renyah, sama seperti para pedagang kebanyakan. Saya sebenarnya binggung, wanita ini harusnya tau, saya bukanlah ibu-ibu yang seharusnya ditawari barang macam ini, kalau diprosentase, kemungkinan saya beli juga tidak akan lebih dari 20%. Penjual pasti tahu target pemasaran bukan? hehe. Atau mungkin sudah terlalu frustasi dengan dagangannya? Ah embuh lah.
Karena pembicaraan belum berakhir sampai sebatas menawarkan, si ibuk akhirnya memesan segelas es teh manis lalu melanjutkan bicaranya. Kali ini bukan soal barang dagangan, beliau malah bercerita tentang kehidupan rumah tangganya yang segera saja saya tangkap sudah berakhir. Cerita panjangnya tidak keluar dari topik, semua masalah kecintaan terhadap mantan suaminya yang baru saja menceraikan beliau. Dan juga perlakuan suami sebelum perceraian. Ada sepenggal kalimat yang saya ingat betul mimik wajahnya ketika itu.
” … Arep diomong seneng ki kok yo ora nalar mas, wong saben dino aku dikaploki, dipisuhi. Ning ati jane rasane lara, ning sak larane opo aku kok yo ora bisa ngadoh? … “
Saya diam sengaja tidak ingin menanggapi. Mung mbatin, dalam hati saya bilang, “Silahkan cari orang pintar tapi jangan ke dukun.”
Sampai pada akhirnya si ibuk ini melanjutkan perjalanannya, (orang marketing gak baik kan lama-lama di warung?) Hehe. Lha wong tehnya juga sudah habis.